Jumat, 04 Februari 2011

Demonstrasi Sejuta Umat di Kairo, Akankah Mubarak Mundur?


Ricuh di Kairo, Mesir, telah menyedot perhatian publik seluruh dunia. Rakyat Mesir nampaknya meniru gerakan reformasi di Indonesia pada 1998 yang dibawah kepemimpinan Amien Rais pada 19 Mei tahun itu mengancam akan membanjiri Monumen Nasional dengan demonstrasi sejuta manusia pada 20 Mei 1998.

Ancaman itu urung terwujud setelah Presiden Soeharto mengambil langkah kompromi, lalu mengundurkan diri dua hari kemudian pada 21 Mei 1998. Kini para demonstran Mesir melakukan hal sama di Lapangan Tahrir, Kairo. Namun berbeda dari Indonesia, di Mesir gerakan sejuta orang turun ke jalan tampaknya terwujud. Pertanyaannya kini adalah apakah Presiden Hosni Mubarak akan mengambil langkah serupa dengan Soeharto untuk mundur dari kekuasaan?

Babak terakhir dari gerakan massa di Mesir tampaknya akan segera ditutup, seiring dengan jutaan orang yang mulai berkumpul di Lapangan Tahrir.

Reuters melaporkan, para demonstran antipemerintahan Mesir, mengharumkan kemenangan setelah presiden Hosni Mubarak setuju untuk membicarakan reformasi politik secara luas. Mereka mengerahkan dukungan untuk apa yang mereka harapkan bisa menjadi demonstrasi sejuta umat untuk demokrasi Selasa ini.

Wakil presiden yang baru saja ditunjuk mulai berbicara dengan tokoh-tokoh oposisi, sementara militer menyatakan tuntutan para demonstran itu sah sehingga menyatakan akan menahan diri untuk tidak menembaki demonstran.

Namun para demonstran di Lapangan Tahrir, Kairo, di mana ribuan orang tetap berjaga sepanjang malam, melangar jam malam, dan bersumpah melanjutkan kampanye mereka sampai presiden berusia 82 tahun itu mundur.

"Satu-satunya hal yang bisa kami terima dari dia adalah dia naik pesawat dan pergi," kata Ahmed Helmi, pengacara berusia 45 tahun.

Amerika Serikat dan negara Barat lain yang mendukung pemerintahan Mubarak selama 30 tahun, menginginkan dia menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas. Bahkan jika pun dia bertahan melawan seruan untuk pengunduran dirinya, tampaknya dia mustahil bisa memenangkan pemilihan.

Setidaknya 140 orang meninggal dunia sejak demonstrasi bermula Selasa pekan lalu. Demonstrasi itu sebagian terinspirasi oleh penggulingan pemimpin Tunisia setelah protes serupa berfokus pada kesulitan ekonomi dan frustasi terhadap penindasan politik.

Janji militer untuk menahan diri dianggap sebagai sinyal perlawanan tentara terhadap Mubarak.

"Mubarak sudah menjadi tanggungjawabnya institusi militer sehingga menjadi lebih sulit bagi Mubarak sekrang untuk tetap berkuasa" kata Fawaz Gerges dari London School of Economics.

Demi kemantapan posisi militer yang menguasai Mesir sejak para pemimpin mereka menggulingkan Raja Farouk yang disokong Inggris pada 1952, tujuan mereka mungkin adalah menciptakan reformasi yang melestarikan pengaruh militer.

Bagi Washington dan sekutu-sekutu Mubarak di Eropa, sebagaimana Israel, perhatian akan fokus pada seberapa jauh kelompok Islam, terutama Ikhwanul Muslim yang terilarang, bisa berbagi kekuasaan dalam apapun sistem politik baru Mesir kelak.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang berusaha menenangkan perbatasan selatan sejak perjanjian damai dengan Kairo pada 1979, mengatakan Mesir bisa berubah menjadi negara teokrasi militan yang berdiri di Iran tahun itu.

Ikhwanul Menuntut

Ikhwanul Muslimin, yang disebut-sebut menginginkan demokrasi yang pluralis, sudah mengambil pendekatan yang hati-hati untuk bergabung dalam protes yang dipimpin anak-anak muda dan kelas profesional urban.

Tetapi, Senin lalu organisasi ini menyerukan orang-orang untuk melanjutkan protes sampai seluruh orang pemerintahan hengkang, "termasuk presiden, partainya, menteri-mentarinya dan perlemennya."

Di kota terbesar kedua Mesir, Iskandariyah, ribuan orang berkumpul dekat stasiun kereta api utama yang banyak diantaranya sudah sedia bekal makanan dan selimut. Mereka mengatakan akan bergabung dalam "demonstrasi sejuta umat" Selasa ini.

Para pejabat pemerintah mengatakan layanan kereta api akan terganggu pada Selasa ini karena jam malam yang mungkin ditujukan agar orang-orang tidak bisa mengikuti demonstrasi sejuta umat.

Wakil Presiden yang baru diangkat Omar Suleiman, tampil di televisi pemerintah Senin kemarin untuk mengatakan bahwa Mubarak telah memintanya memulai pembicraan dengan semua kekuatan politik konstitusional dan program-program reformasi lainnya. Stasiun TV itu kemudian mengatakan pembicaraan itu sudah mulai.

Suleiman, kepala badan intelejen yang diangkat jadi wakil presiden Sabtu pekan lalu, juga mengatakan pemerintahan baru yang dilantik Mubarak hari Senin akan memerangi pengangguran, inflasi dan korupsi.

Amerika Serikat mengatakan Mubarak juga harus mencabut keadaan darurat yang diterapkannya sejak 1981. Washington mengirim seorang utusan khusus, mantan duta besar untuk Kairo Frank Wisner, untuk bertemu pemimpin Mesir.

"Cara Mesir memandang dan melangkah harus berubah," kata Robert Gibbs, Juru Bicara Presiden Barack Obama.

Negara-negara Barat terkesima dengan begitu cepatnya negara polisi ala Mubarak diguncang olej warga negara yang marah dan tak bersenjata. Beberapa analis percaya militer saat ini mencari cara untuk menyelamatkan muka Mubarak.

Pemilihan presiden September nanti mungkin memberi kesempatan Mubarak untuk mengatakan bahwa dia tidak ingin lagi memimpin. Tetapi, taktik tersebut mungkin hanya meremehkan hasrat rakyat di jalanan yang melihatnya mundur.

"Itu tidak akan bekerja. Ini adalah taktik mengulur waktu. Saya kira Mubarak tidak cukup menyadari gawatnya situasi," kata Faysal Itani dari Exclusive Analysis. "Bila jalan buntu ini berlangsung lebih lama maka akan ada gangguan lebih jauh terhadap ketertiban."

Di Universitas Kairo, profesor politik Hassan Nafas mengatakan, "Semua tujuan ini untuk mengulur waktu, menenangkan keadaan di jalanan, menghalau para pemrotes dan melemahkan revolusi... Presiden harus mengakhiri pemerintahannya dan pergi, tidak ada pilihan lain."

Sementara itu, pemerintah-pemerintah asing segera memastikan keselamatan warga negara mereka yang terjebak dalam kerusuhan di Mesir.

Perusahaan-perusahaan, mulai dari pemboran gas hingga supermarket, juga menarik staf mereka setelah konfrontasi sosial membuat kehidupan ekonomi terhenti. Sementara pasar keuangan dan bank-bank ditutup selama hari kedua protes.

Di tingkat internasional, harga minyak mentah patokan Brent di Eropa mencapai 101 dolar AS per barel menyusul kekhawatiran bahwa kerusuhan akan menyebar ke negara penghasil minyak seperti Arab Saudi.

Sedangkan negara-negara Arab yang lebih kecil dari Saudi seperti Yaman, Sudan, Suriah dan Yordania semua disebutkan oleh para analis akan diguncang demonstrasi serupa.

Moody's yang telah menurunkan peringkat utang Mesir ke Ba2 dengan outlook negatif dari sebelumnya Ba1, mengatakan pemerintah Mesir mungkin akan menghadapi keuangan yang melemah seiring dengan meningkatnya belanja sosial.

Sumber: ANTARANews & Reuters

Sponsored